Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Paradigma Hobbesian, Menanadai Perkembangan Hukum dalam Sejarah

Selasa, 4 Maret 2025 17:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz
Iklan

Hobbes hidup di masa Perang Sipil Inggris yang berdarah pada abad ke-17. Pengalaman ini membentuk pandangannya tentang "keadaan alamiah manusia.

Oleh : A.W. Al-faiz 

Di tengah ketidakpastian global yang kita hadapi saat ini—mulai dari pandemi, konflik geopolitik, hingga krisis iklim—pemikiran filsuf politik Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) kembali mendapatkan perhatian. Paradigma Hobbesian, yang dikenal melalui karyanya "Leviathan", menawarkan sudut pandang yang relevan untuk memahami dilema antara kebebasan individual dan kebutuhan akan otoritas negara yang kuat dalam situasi krisis.

Keadaan Alamiah dan Ketertiban Sosial

Hobbes hidup di masa Perang Sipil Inggris yang berdarah pada abad ke-17. Pengalaman menyaksikan kekacauan sosial ini membentuk pandangannya tentang "keadaan alamiah" manusia—suatu kondisi tanpa pemerintahan yang ia gambarkan sebagai "solitary, poor, nasty, brutish, and short" (kesepian, miskin, mengerikan, kasar, dan singkat).

Pemikiran ini mungkin terdengar pesimistis, namun refleksi terhadap berbagai konflik kontemporer—dari perpecahan politik hingga ketidakstabilan sosial di berbagai belahan dunia—menunjukkan bahwa ketakutan Hobbes tidak sepenuhnya tak berdasar. Dalam situasi krisis, struktur sosial yang kita anggap mapan dapat dengan cepat runtuh, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan kekacauan.

Kontrak Sosial di Era Digital

Solusi yang ditawarkan Hobbes melalui teori kontrak sosial—di mana individu menyerahkan sebagian kebebasannya kepada otoritas negara demi keamanan bersama—mendapatkan dimensi baru di era digital. Saat ini, kita secara sukarela menyerahkan data pribadi kepada perusahaan teknologi dan pemerintah dengan imbalan kenyamanan dan keamanan.

Pertanyaannya: apakah "Leviathan digital" ini menawarkan perlindungan yang dijanjikan, atau justru menciptakan bentuk kekuasaan baru yang lebih invasif? Paradigma Hobbesian mengingatkan kita akan pentingnya mempertanyakan syarat-syarat kontrak sosial yang sering kita terima begitu saja.

Menyeimbangkan Keamanan dan Kebebasan

Salah satu perdebatan kontemporer yang paling mencolok adalah ketegangan antara keamanan nasional dan kebebasan sipil. Dari kebijakan pengawasan massal hingga pembatasan kebebasan bergerak selama pandemi, masyarakat global terus bergulat dengan pertanyaan tentang sejauh mana kekuasaan negara dapat diperluas dalam situasi darurat.

Hobbes mungkin akan mendukung langkah-langkah tegas untuk mengatasi ancaman kolektif. Namun, tradisi liberal yang berkembang pasca-Hobbes—melalui pemikir seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau—mengingatkan kita akan bahaya kekuasaan tak terbatas, bahkan ketika dilaksanakan dengan niat baik.

Melampaui Paradigma Hobbesian

Meskipun memberikan wawasan berharga, paradigma Hobbesian memiliki keterbatasan dalam menjawab kompleksitas tantangan kontemporer. Konsep kedaulatan absolutnya kurang mengakomodasi realitas global yang saling terhubung, di mana masalah seperti perubahan iklim dan pandemi melampaui batas-batas negara.

Jalan ke depan mungkin terletak pada sintesis antara pemikiran Hobbes tentang pentingnya tatanan sosial dengan pengakuan atas hak-hak individual dan kebutuhan akan kerja sama global. Tantangan bagi masyarakat modern adalah membangun institusi yang cukup kuat untuk menjaga ketertiban, namun tetap akuntabel dan responsif terhadap kehendak warganya.

Penutup

Empat abad setelah kelahirannya, paradigma Hobbesian tetap menjadi lensa berharga untuk menganalisis ketegangan abadi antara kebebasan dan keamanan, antara hak individual dan kepentingan kolektif. Di era yang ditandai oleh polarisasi politik dan krisis global yang semakin kompleks, dialog kritis dengan pemikiran klasik seperti Hobbes dapat menawarkan perspektif yang mencerahkan.

Mungkin pelajaran terpenting dari Hobbes adalah pengakuan bahwa tatanan sosial—meskipun tidak sempurna—adalah pencapaian berharga yang tidak boleh dianggap remeh. Tantangan bagi generasi kita adalah bagaimana mempertahankan dan memperkuat tatanan ini sambil terus memperluas lingkup kebebasan dan keadilan bagi semua.


Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan posisi resmi dari institusi manapun. Pembaca diajak untuk melakukan refleksi kritis terhadap tema yang dibahas.

Menandai Perkembangan Hukum Dalam Sejarah: Perspektif Historiografi.

Perkembangan hukum sepanjang sejarah manusia merupakan cerminan dari evolusi masyarakat, struktur kekuasaan, nilai-nilai moral, dan kebutuhan praktis. Historiografi hukum—studi tentang bagaimana sejarah hukum ditulis dan ditafsirkan—menawarkan lensa yang berharga untuk memahami bagaimana sistem hukum terbentuk, berubah, dan mempengaruhi kehidupan manusia. Artikel ini akan menguraikan tonggak-tonggak penting dalam perkembangan hukum dari sudut pandang historiografi.

Hukum Kuno: Dari Lisan ke Tertulis

Kodifikasi Awal (c. 2100-1700 SM)

Transisi dari tradisi hukum lisan ke tertulis menandai perubahan fundamental dalam peradaban. Kode Ur-Nammu dari Mesopotamia (c. 2100 SM) dan Kode Hammurabi (c. 1754 SM) mewakili upaya awal untuk mengodifikasi hukum dalam bentuk tertulis. Dari perspektif historiografi, kodifikasi ini merefleksikan:

  • Konsolidasi kekuasaan politik pada otoritas sentral
  • Kebutuhan akan kepastian hukum dalam masyarakat yang semakin kompleks
  • Upaya untuk mempertahankan keadilan sosial dan kestabilan ekonomi

Historiografi tradisional sering menafsirkan kode-kode ini sebagai bukti "kemajuan" hukum. Namun, pendekatan historiografi kritis menggarisbawahi bahwa kodifikasi juga merupakan instrumen kontrol sosial dan legitimasi kekuasaan.

Hukum Klasik (c. 800 SM - 600 M)

Perkembangan hukum di Yunani, Romawi, India (Dharmashastra), dan China (Legisme dan Konfusianisme) masing-masing menawarkan model berbeda tentang hubungan antara hukum, moralitas, dan kekuasaan. Historiografi komparatif menunjukkan:

  • Di Yunani, hukum dipandang sebagai produk konsensus warga negara (terutama di Athena)
  • Romawi mengembangkan sistem hukum komprehensif yang memisahkan ius civile (hukum warga) dan ius gentium (hukum bangsa-bangsa)
  • Tradisi India mengintegrasikan hukum dengan konsep dharma (kewajiban religius-moral)
  • China mengembangkan pendekatan pragmatis melalui Legisme, diimbangi dengan etika Konfusian

Corpus Juris Civilis yang dikompilasi di bawah Kaisar Justinian (527-565 M) menjadi monumen historiografi hukum yang menjembatani dunia kuno dan modern.

Pluralisme Hukum Abad Pertengahan

Hukum Islam dan Kontribusinya (c. 632-1300 M)

Perkembangan fiqh (yurisprudensi Islam) menandai fase penting dalam historiografi hukum global. Beberapa kontribusi signifikan meliputi:

  • Pengembangan metode sistematis interpretasi hukum (usul al-fiqh)
  • Konsep ijtihad (penalaran independen) dan konsensus (ijma)
  • Yurisprudensi komersial yang canggih yang mempengaruhi praktik perdagangan Eropa
  • Historiografi kolonial sering mengabaikan kontribusi hukum Islam, sementara historiografi pasca-kolonial berupaya untuk mengakui perannya dalam evolusi hukum global.

Pluralisme Hukum Eropa (c. 500-1500 M)

Abad Pertengahan di Eropa ditandai oleh koeksistensi berbagai sistem hukum:

  • Hukum kanonik Gereja
  • Hukum feodal yang mengatur hubungan tanah
  • Hukum kerajaan yang berkembang
  • Hukum dagang (lex mercatoria)
  • Hukum adat lokal
  • Perspektif historiografi modern menekankan bahwa pluralisme hukum ini bukan sekadar "kebingungan" pra-modern, tetapi mekanisme adaptif yang mengakomodasi realitas sosial yang kompleks.

Revolusi Hukum Modern

Kodifikasi Nasional (c. 1700-1900)

Pembentukan negara-bangsa modern bersamaan dengan gelombang kodifikasi hukum nasional:

  • Code Napoléon (1804) di Prancis
  • Bürgerliches Gesetzbuch (BGB) di Jerman (1900)
  • Kodifikasi serupa di seluruh Eropa dan pengaruhnya

Historiografi nasionalis sering menafsirkan kodifikasi ini sebagai penanda kedaulatan dan identitas nasional. Pendekatan historiografi kritis menganalisis bagaimana kodifikasi juga mencerminkan kepentingan kelas dan gender tertentu.

Kolonialisme dan Transplantasi Hukum (c. 1500-1960)

Ekspansi kolonial Eropa mengakibatkan penyebaran sistem hukum Barat ke seluruh dunia:

  • Pengenalan Common Law Inggris di Amerika Utara, India, dan Afrika
  • Ekspansi sistem Civil Law Prancis ke Afrika dan Asia Tenggara
  • Hibridisasi dengan sistem hukum lokal

Historiografi pasca-kolonial menggali dampak transplantasi hukum ini terhadap masyarakat lokal, resistensi terhadap transplantasi, dan bentuk-bentuk hibridisasi hukum.

Hukum Internasional dan Global

Perkembangan Hukum Internasional (c. 1648-sekarang)

Perdamaian Westphalia (1648) sering dianggap sebagai titik awal sistem negara modern dan hukum internasional. Perkembangan berikutnya meliputi:

  • Hukum humaniter yang berevolusi dari Konvensi Jenewa
  • Pembentukan PBB dan sistem multilateral pasca-1945
  • Pengembangan rezim hak asasi manusia internasional
  • Pendirian pengadilan internasional

Historiografi tradisional menafsirkan perkembangan ini sebagai "kemajuan" menuju tatanan global yang lebih adil. Pendekatan kritis mengidentifikasi bagaimana hukum internasional juga mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan global.

Globalisasi Hukum Kontemporer

Era kontemporer menyaksikan tren baru dalam perkembangan hukum:

  • Harmonisasi hukum melalui organisasi supranasional (contoh: Uni Eropa)
  • Pembentukan rezim regulasi global untuk perdagangan, lingkungan, dan hak asasi
  • Peningkatan peran aktor non-negara dalam pembentukan norma hukum global
  • Digitalisasi dan tantangan hukum siber

Historiografi kontemporer memusatkan perhatian pada kompleksitas interaksi antara tingkat lokal, nasional, dan global dalam pembentukan hukum.

Perspektif Historiografi Alternatif

Hukum dari Bawah

Pendekatan historiografi baru semakin memperhatikan bagaimana hukum dipahami dan dialami oleh kelompok marginal:

  • Sejarah hukum perburuhan dan perjuangan kelas pekerja
  • Perkembangan hukum dari perspektif gender dan feminisme
  • Pengalaman masyarakat adat dengan sistem hukum dominan
  • Gerakan keadilan lingkungan dan perkembangan hukum lingkungan

Pendekatan "hukum dari bawah" ini menantang narasi konvensional yang berfokus pada legislator, hakim, dan ahli hukum elit.

Pendekatan Antropologi Hukum

Perspektif antropologis memperluas cakupan historiografi hukum dengan:

  • Mengakui sistem hukum adat yang sebelumnya diabaikan
  • Mempelajari bagaimana norma hukum diterjemahkan dan ditafsirkan dalam praktik sehari-hari
  • Menganalisis pluralisme hukum dalam masyarakat kontemporer
  • Meneliti pertukaran dan sirkulasi ide-ide hukum antar budaya

Perspektif historiografi

Perspektif historiografi memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang perkembangan hukum sebagai proses yang tidak linear dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Alih-alih melihat hukum sebagai sistem yang berkembang menuju "kesempurnaan", historiografi kontemporer mengakui:

  • Kontingensi historis dalam perkembangan hukum
  • Peran kepentingan dan kekuasaan dalam pembentukan sistem hukum
  • Interaksi dinamis antara hukum tertulis dan praktik sosial
  • Pentingnya memahami hukum dalam konteks kultural spesifik

Dengan demikian, historiografi hukum tidak hanya membantu kita memahami masa lalu, tetapi juga memberikan lensa kritis untuk mengevaluasi sistem hukum kontemporer dan membayangkan kemungkinan transformasi di masa depan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler